Bagaimana Hukumnya Akhwat Naik Ojek
Sebenarnya belum ada alasan yang membolehkan (mubarrir) seorang wanita naik sepeda motor bersama dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Akan tetapi, permasalahannya bukan hanya berkhalwat (berduaan), namun juga posisi duduk di atas sadel sepeda motor (tukang ojek) itu yang membuat pengemudi dan yang membonceng itu harus menempel.
Walaupun diantara keduanya masih dilapisi dengan pakaian masing-masing. Tetapi ini jelas lebih parah dari hany sekedar duduk berduaan di sebuah ruangan. Masalahnya jika di dalam ruangan, masih ada sekat atau batas jarak antara keduanya. Sedangkan mereka yang naik sepeda motor (ojek motor), posisinya menempel dan itu sulit sekali untuk dihindari. Apalagi bila terjadi pengereman mendadak, maka bisa dipastikan terjadi sentuhan tubuh.
Hanya saja melihat kondisi tata kota seperti di Jakarta (atau mungkin daerah lainnya) yang ibarat sebuah kampung besar memang menyulitkan orang untuk bepergian dengan hanya mengandalkan bus, mobil omprengan, angkot dan sejenisnya.
Dan kebanyakan tempat tinggal (rumah) itu adanya di dalam gang atau jalan kecil yang aksesnya cukup jauh ke jalan raya dimana ada angkutan bus, mobil omprengan, angkot dan sejenisnya itu relatif jauh. Sehingga masih sangat dibutuhkan angkutan lainnya yang lebih kecil untuk menyambung transportasi masuk atau keluar perumahan.
Dahulu sekali, JAKARTA punya alat transfortasi yang cukup baik dari ojek sepeda motor yang banyak berjasa mengantarkan ibu-ibu pergi dan pulang dari pasar sekalian membawa barang belanjaan yaitu becak.
Namun, becak kini sudah dihapuskan di DKI Jakarta (bahka di kota-kota besar lainnya) dan peranannya digantikan dengan ojek (motor atau sepeda). Padahal jika dilihat dari sisi ikhtilat (bercampur), becak lebih terlindungi dibandingkan ojek. Karena, antara posisi penumpang dan penarik becak itu dipisahkan dan berbeda posisi. Sehingga tidak terjadi duduk berduaan.
Dalam hal ini, maka ojek (motor dan sepeda) bukanlah kendaraan yang memenuhi syarat untuk dinaiki oleh seorang wanita (akhwat), karena umumnya para pengemudi ojek itu laki-laki, kecuali pengemudinya wanita. Dan karena itu pula ikhtilat antara non mahram ini menjadi hal yang tidak mungkin dihindari.
Sehingga, jika ingin dicarikan alasan yang membolehkan (mubarrir), maka haruslah dengan alasan yang sangat kuat dan tingkat kedaruratannya harus jauh lebih tinggi. Dan jarak yang 100-200 meter itu tidak bisa dijadikan alasan secara umum. Juga alasan takut terlambat sampai di tempat pun tidak bisa dijadikan alasan yang kuat.
Dengan demikian, para wanita harus diupayakan sedapat mungkin untuk tidak naik ojek (motor atau sepeda, kecuali pengemudinya seorang wanita) bila bepergian, karena ojek jelas-jelas tidak mencukupi syarat sebagai kendaraaan para muslimah (akhwat).
Memang, dalam kondisi darurat bisa saja dilakukan dan dibolehkan, tapi darurat itu adalah sesuatu yang sifatnya sangat penting (urgen) dan genting dan tentu saja darurat itu tidak terjadi setiap hari.
Dan ini adalah pekerjaan rumah dan tantangan tersendiri bagi para muslimah (akhwat) yang harus dicarikan jalan keluarnya dengan cara yang sebaik-baiknya oleh pemerintah. Namun, kini sudah banyak pengemudi ojek seorang wanita (walaupun jarang terjadi). Wallahu’alam.
Catatan:
Selama ini, istri saya jarang sekali naik ojek (sebelum adanya ojek wanita). Dia lebih memilih jalan ketimbang naik ojek. Namun, hal itu jangan dijadikan patokan utama dan saya hanya mengkisahkan saja.
Cecep Y. Pramana
http://pangerans.multiply.com
http://blogmotivasionline.blogspot.com